Baca pos: Analisis Fundamental: Analisis Rasio Keuangan.
Rasio Profitabilitas / Rentabilitas menunjukkan sejauh mana kemampuan perusahaan dalam menghasilkan profit / keuntungan dengan menggunakan seluruh sumber daya perusahaan. Dalam analisis fundamental, rasio profitabilitas merupakan rasio yang luar sangat sangat penting, karena kalau perusahaan tidak bisa menghasilkan profit, perusahaan tersebut pasti nggak bonafid.
Kalau perusahaan nggak mampu profit, sudah jelas perusahaan tersebut bukanlah tempat yang layak untuk investasi. Tujuan akhir perusahaan, ujung2nya adalah untuk mencetak profit segede-gedenya. Jadi, kalau perusahaan bisa menghasilkan profit yang besar apalagi selama bertahun-tahun berada dalam tren naik (konsisten naik), maka perusahaan itu adalah perusahan yang bagus untuk tempat investasi, dari sisi rasio profitabilitas.
Bung Heze, berarti kita cukup lihat tren laba bersih perusahaan saja donk, nggak perlu lihat menghitung rasio profitabilitas?
Sebagai analis fundamental, tren laba bersih sangat penting untuk Anda lihat. Tetapi, rasio profitabilitas adalah ukuran yang barangkali sama atau bahkan lebih penting ketimbang sekedar melihat tren laba bersih saja. Mengapa? Karena rasio profitabilitas membandingkan keefektifan kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba menggunakan sumber daya perusahaan (seperti aset, ekuitas dan lain2).
Jenis2 rasio profitabilitas:
1. Net Profit Margin (NPM) / Margin Laba Bersih
NPM digunakan untuk mengukur seberapa besar ukuran keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih yang dihasilkan dari penjualannya. NPM dilakukan dengan membandingkan laba bersih terhadap penjualan bersih. Rumus NPM adalah sebagai berikut.
Cara menggunakan rumus ini sangat mudah. Saya akan menggunakan laporan keuangan PT Astra Agro Lestari tahun 2012. Laba bersih AALI: 2.453.654. Penjualan bersih: 11.564.319. Maka, cara menghitung NPM adalah: 2.453.654 / 11.564.319 = 0,21 kali.
Mengapa Anda perlu mengetahui NPM dalam analisis fundamental? NPM bisa digunakan untuk mengetahui seberapa efektif perusahaan dalam meminimalkan beban2 operasionalnya. Besar kecilnya NPM juga dipengaruhi oleh Harga Pokok Penjualan (HPP) maupun biaya2 operasional yang secara langsung berhubungan dengan penjualan.
Lho kok bisa? Mari kita analisis sama2.
Jika nilai NPM kecil, apalagi tren NPM selama beberapa tahun turun terus, maka bisa jadi karena laba bersih kecil tetapi penjualan bersih besar (lihat kembali rumus NPM diatas). Apa maknanya? Kalau penjualan besar seharusnya laba bersihnya kan juga besar. Tetapi kalau labanya kecil itu maknanya perusahaan memiliki beban yang besar. Kalau secara tren, NPM terus turun, artinya terjadi pembengkakan biaya.
Implikasinya, perusahaan bisa menghasilkan penjualan bersih yang banyak tetapi perusahaan KURANG MAMPU meminimalkan biaya2 perusahaan, sehingga menyebabkan laba bersih perusahaan menjadi kecil. Apa saja biaya2 perusahaan yang ada dalam laporan keuangan? Berikut adalah contoh beban2 dalam laporan laba rugi PT Astra Agro LEstari tahun 2011 - 2012.
NPM kecil juga bisa jadi karena laba bersih stagnan tetapi penjualan bersih besar. Maknanya sama saja, perusahaan belum bisa meminimalkan beban yang terkait langsung dengan penjualan.
Sebaliknya, kalau nilai NPM besar artinya perusahaan bisa menekan biaya2-nya, sehingga bisa menghasilkan laba bersih yang lebih besar.
Untuk analisis NPM, sama seperti rasio2 profitabilitas lainnya yang akan kita bahas. Anda tidak bisa menyimpulkan apakah NPM sebesar 0,5 kali dalam perusahaan termasuk tinggi atau tidak. Anda harus menganalisis secara tren (beberapa tahun kebelakang), baru Anda lihat grafik kecenderungannya (naik atau turun).
2. Gross Profit Margin (GPM) / Margin Laba Kotor
GPM digunakan untuk mengukur seberapa besar keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba kotor (atau laba bruto) dari penjualan bersih. Rumus GPM adalah sebagai berikut:
GPM mengukur laba kotor, sedangkan NPM mengukur laba bersih. Mengapa mengukur laba kotor, bukan laba bersih? Karena GPM ingin membandingkan seberapa efektif perusahaan dalam menghasilkan laba kotor dengan meminimalkan beban pokok penjualan atau harga pokok penjualan (HPP).
HPP adalah biaya yang berkaitan langsung dengan penjualan bersih. Ketika HPP besar, meskipun penjualan bersih perusahaan besar, maka dapat berdampak pada laba kotor. Sama seperti NPM, GPM yang semakin tinggi menunjukkan bahwa: Perusahaan mampu memaksimalkan pendapatan bersihnya. Atau, perusahaan mampu menekan HPP, sehingga menghasilkan kenaikan laba kotor.
3. Operating Profit Margin (OPM) / Margin Laba Operasi
OPM mengukur seberapa kemampuan perusahaan dalam memaksimalkan penjualan untuk menghasilkan laba operasi. Laba operasi adalah laba bersih sebelum pajak dan bunga. Rasio OPM kalau boleh saya bilang adalah rasio yang perhitungannya relatif paling OBJEKTIF dibandingkan NPM dan GPM.
Hal tersebut dikarenakan OPM memasukkan seluruh komponen biaya yang berpengaruh terhadap laba perusahaan. Sedangkan GPM, hanya memperhitungkan HPP saja. Bagaimana dengan NPM? Well, NPM memang tidak hanya mengukur laba operasi, tetapi laba bersih, tetapi NPM memasukkan unsur pajak penghasilan.
Sedangkan rasio OPM tidak memasukkan pajak penghasilan, itulah mengapa perhitungan OPM menggunakan ukuran laba operasi (laba sebelum pajak penghasilan), bukan laba bersih (laba tahun berjalan). Pajak penghasilan "seharusnya" tidak dimasukkan dalam perhitungan beban, karena pajak penghasilan tidak ada kaitannya dengan operasi perusahaan.
Sedangkan beban2 seperti beban umum dan administrasi, beban penjualan, HPP semuanya adalah beban yang berkaitan dengan operasi perusahaan. Yang mana jika perusahaan tidak mampu menekan biaya2 tersebut (variabel), maka laba perusahaan akan turun, seperti yang sudah kita bahas sebelumnya. Pajak penghasilan nggak ada kaitannya dengan biaya operasional, karena pajak penghasilan sifatnya pasti (25% dari laba perusahaan).
Rumus OPM adalah sebagai berikut.
Semakin besar OPM, berarti perusahaan mampu memaksimalkan penjualan bersih, sehingga meningkatkan laba operasi. Di satu sisi kenaikan OPM juga berarti perusahaan mampu menekan biaya2 perusahaan, sehingga laba operasi meningkat. Mungkin saja dalam perhitungan OPM, penjualan bersih perusahaan stagnan, tetapi jika perusahaan mampu menekan beban2-nya, maka laba operasi akan naik.
Baik NPM, GPM dan OPM perlu Anda pahami ketika Anda memutuskan untuk jadi investor saham, karena rasio2 tersebut mampu mengukur keefektifan perusahaan dalam meminimalkan biaya2nya. Kalau perusahaan nggak mampu menekan biaya, akan berdampak pada laba yang diperoleh. Ingat, investor akan selalu mempertimbangkan laba ketika investasi di suatu perusahaan.
4. Return to Equity (ROE). Analisis fundamental ROE bisa Anda baca disini: Analisis Fundamental Saham: Return to Equity (ROE) - Part I. Analisis Fundamental Saham: Return to Equity (ROE) - Part II.
5. Return to Aset (ROA). Untuk mendapat penjelasan mengenai ROA, silahkan klik disini: Analisis Fundamental Saham - Return on Asset (ROA).
5. Earning per Share (EPS). Untuk pembahasan rasio EPS, silahkan klik: Makna dan Fungsi Rasio Earning per Share (EPS).
Kalau perusahaan nggak mampu profit, sudah jelas perusahaan tersebut bukanlah tempat yang layak untuk investasi. Tujuan akhir perusahaan, ujung2nya adalah untuk mencetak profit segede-gedenya. Jadi, kalau perusahaan bisa menghasilkan profit yang besar apalagi selama bertahun-tahun berada dalam tren naik (konsisten naik), maka perusahaan itu adalah perusahan yang bagus untuk tempat investasi, dari sisi rasio profitabilitas.
Bung Heze, berarti kita cukup lihat tren laba bersih perusahaan saja donk, nggak perlu lihat menghitung rasio profitabilitas?
Sebagai analis fundamental, tren laba bersih sangat penting untuk Anda lihat. Tetapi, rasio profitabilitas adalah ukuran yang barangkali sama atau bahkan lebih penting ketimbang sekedar melihat tren laba bersih saja. Mengapa? Karena rasio profitabilitas membandingkan keefektifan kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba menggunakan sumber daya perusahaan (seperti aset, ekuitas dan lain2).
Jenis2 rasio profitabilitas:
1. Net Profit Margin (NPM) / Margin Laba Bersih
NPM digunakan untuk mengukur seberapa besar ukuran keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih yang dihasilkan dari penjualannya. NPM dilakukan dengan membandingkan laba bersih terhadap penjualan bersih. Rumus NPM adalah sebagai berikut.
Cara menggunakan rumus ini sangat mudah. Saya akan menggunakan laporan keuangan PT Astra Agro Lestari tahun 2012. Laba bersih AALI: 2.453.654. Penjualan bersih: 11.564.319. Maka, cara menghitung NPM adalah: 2.453.654 / 11.564.319 = 0,21 kali.
Mengapa Anda perlu mengetahui NPM dalam analisis fundamental? NPM bisa digunakan untuk mengetahui seberapa efektif perusahaan dalam meminimalkan beban2 operasionalnya. Besar kecilnya NPM juga dipengaruhi oleh Harga Pokok Penjualan (HPP) maupun biaya2 operasional yang secara langsung berhubungan dengan penjualan.
Lho kok bisa? Mari kita analisis sama2.
Jika nilai NPM kecil, apalagi tren NPM selama beberapa tahun turun terus, maka bisa jadi karena laba bersih kecil tetapi penjualan bersih besar (lihat kembali rumus NPM diatas). Apa maknanya? Kalau penjualan besar seharusnya laba bersihnya kan juga besar. Tetapi kalau labanya kecil itu maknanya perusahaan memiliki beban yang besar. Kalau secara tren, NPM terus turun, artinya terjadi pembengkakan biaya.
Implikasinya, perusahaan bisa menghasilkan penjualan bersih yang banyak tetapi perusahaan KURANG MAMPU meminimalkan biaya2 perusahaan, sehingga menyebabkan laba bersih perusahaan menjadi kecil. Apa saja biaya2 perusahaan yang ada dalam laporan keuangan? Berikut adalah contoh beban2 dalam laporan laba rugi PT Astra Agro LEstari tahun 2011 - 2012.
NPM kecil juga bisa jadi karena laba bersih stagnan tetapi penjualan bersih besar. Maknanya sama saja, perusahaan belum bisa meminimalkan beban yang terkait langsung dengan penjualan.
Sebaliknya, kalau nilai NPM besar artinya perusahaan bisa menekan biaya2-nya, sehingga bisa menghasilkan laba bersih yang lebih besar.
Untuk analisis NPM, sama seperti rasio2 profitabilitas lainnya yang akan kita bahas. Anda tidak bisa menyimpulkan apakah NPM sebesar 0,5 kali dalam perusahaan termasuk tinggi atau tidak. Anda harus menganalisis secara tren (beberapa tahun kebelakang), baru Anda lihat grafik kecenderungannya (naik atau turun).
2. Gross Profit Margin (GPM) / Margin Laba Kotor
GPM digunakan untuk mengukur seberapa besar keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba kotor (atau laba bruto) dari penjualan bersih. Rumus GPM adalah sebagai berikut:
GPM mengukur laba kotor, sedangkan NPM mengukur laba bersih. Mengapa mengukur laba kotor, bukan laba bersih? Karena GPM ingin membandingkan seberapa efektif perusahaan dalam menghasilkan laba kotor dengan meminimalkan beban pokok penjualan atau harga pokok penjualan (HPP).
HPP adalah biaya yang berkaitan langsung dengan penjualan bersih. Ketika HPP besar, meskipun penjualan bersih perusahaan besar, maka dapat berdampak pada laba kotor. Sama seperti NPM, GPM yang semakin tinggi menunjukkan bahwa: Perusahaan mampu memaksimalkan pendapatan bersihnya. Atau, perusahaan mampu menekan HPP, sehingga menghasilkan kenaikan laba kotor.
3. Operating Profit Margin (OPM) / Margin Laba Operasi
OPM mengukur seberapa kemampuan perusahaan dalam memaksimalkan penjualan untuk menghasilkan laba operasi. Laba operasi adalah laba bersih sebelum pajak dan bunga. Rasio OPM kalau boleh saya bilang adalah rasio yang perhitungannya relatif paling OBJEKTIF dibandingkan NPM dan GPM.
Hal tersebut dikarenakan OPM memasukkan seluruh komponen biaya yang berpengaruh terhadap laba perusahaan. Sedangkan GPM, hanya memperhitungkan HPP saja. Bagaimana dengan NPM? Well, NPM memang tidak hanya mengukur laba operasi, tetapi laba bersih, tetapi NPM memasukkan unsur pajak penghasilan.
Sedangkan rasio OPM tidak memasukkan pajak penghasilan, itulah mengapa perhitungan OPM menggunakan ukuran laba operasi (laba sebelum pajak penghasilan), bukan laba bersih (laba tahun berjalan). Pajak penghasilan "seharusnya" tidak dimasukkan dalam perhitungan beban, karena pajak penghasilan tidak ada kaitannya dengan operasi perusahaan.
Sedangkan beban2 seperti beban umum dan administrasi, beban penjualan, HPP semuanya adalah beban yang berkaitan dengan operasi perusahaan. Yang mana jika perusahaan tidak mampu menekan biaya2 tersebut (variabel), maka laba perusahaan akan turun, seperti yang sudah kita bahas sebelumnya. Pajak penghasilan nggak ada kaitannya dengan biaya operasional, karena pajak penghasilan sifatnya pasti (25% dari laba perusahaan).
Rumus OPM adalah sebagai berikut.
Semakin besar OPM, berarti perusahaan mampu memaksimalkan penjualan bersih, sehingga meningkatkan laba operasi. Di satu sisi kenaikan OPM juga berarti perusahaan mampu menekan biaya2 perusahaan, sehingga laba operasi meningkat. Mungkin saja dalam perhitungan OPM, penjualan bersih perusahaan stagnan, tetapi jika perusahaan mampu menekan beban2-nya, maka laba operasi akan naik.
Baik NPM, GPM dan OPM perlu Anda pahami ketika Anda memutuskan untuk jadi investor saham, karena rasio2 tersebut mampu mengukur keefektifan perusahaan dalam meminimalkan biaya2nya. Kalau perusahaan nggak mampu menekan biaya, akan berdampak pada laba yang diperoleh. Ingat, investor akan selalu mempertimbangkan laba ketika investasi di suatu perusahaan.
4. Return to Equity (ROE). Analisis fundamental ROE bisa Anda baca disini: Analisis Fundamental Saham: Return to Equity (ROE) - Part I. Analisis Fundamental Saham: Return to Equity (ROE) - Part II.
5. Return to Aset (ROA). Untuk mendapat penjelasan mengenai ROA, silahkan klik disini: Analisis Fundamental Saham - Return on Asset (ROA).
5. Earning per Share (EPS). Untuk pembahasan rasio EPS, silahkan klik: Makna dan Fungsi Rasio Earning per Share (EPS).
Baca juga rasio2 keuangan lainnya: